wayang Wayang sebagai karya seni rupa Telah dijelaskan sebelumnya bahwa pertunjukan wayang kulit purwa memiliki berbagai macam seni yang terkandung didalamnya antara lain; seni musik, seni drama, seni sastra, dan seni rupa. Rupa wayang merupakan medium pokok dalam pakeliran wayang kulit purwa, disamping pokok lainnya
Senirupa terapan atau di dalam bahasa Inggris disebut applied art merupakan suatu karya seni rupa yang dipakai di dalam kehidupan sehari Motif hias geometris, fauna, flora, serta manusia. wayang, sepatu, dan yang lainnya. 8. Seni Kerajinan Anyaman. Kerajinan satu ini biasanya memakai bahan baku bambu, rotan, daun pandan, daun lontar
Motifragam hias ini terbagi menjadi 5, di antaranya ragam hias geometris , flora , fauna , figurative dan polygonal. Ragam hias kawung termasuk motif kuno, yang diciptakan oleh . Pengertian ragam hias sesuai dengan namanya, ragam hias geometris mengandung. Gambar di atas merupakan salah satu contoh motif ragam hias abstrak.
SejarahSeni Rupa PERKEMBANGAN SENI TIMUR. Jauh sebelum dimulai perhitungan tahun masehi, dibeberapa tempat di daerah timur sudah memperlihatkan suatu kebudayaan yang bermutu tinggi. Dan sangat berpengaruh baik di timur maupun di daerah barat. Kesenian timur pada awal perkembangannya berpusat di Mesir, Mesopotamia dan India (lembah sungai Indus).
Wayangkulit adalah seni tradisional Indonesia yang berkembang khususnya di Jawa. Istilah wayang dari kata Ma Hyang, artinya menuju kepada roh spiritual, dewa atau Tuhan yang Maha Esa. Namun ada juga yang mengartikan "bayangan", bahasa Inggrisnya shadow plays, permainan bayangan, puppet artinya boneka.
10 pertanyaan dan jawaban tentang berbakti kepada orang tua. Kesenian mengacu pada nilai keindahan estetika yang berasal dari ekspresi hasrat manusia akan keindahan yang dinikmati dengan mata ataupun telinga. Sebagai makhluk yang mempunyai cita rasa tinggi, manusia menghasilkan berbagai corak kesenian mulai dari yang sederhana hingga perwujudan kesenian yang kompleks. Nusantara dikenal memiliki beraneka ragam motif hias. Motif hias disebut juga ornamen, motif hias dimiliki oleh setiap daerah Nusantara. Motif hias pada karya seni rupa Nusantara menggunakan motif-motif tertentu, sesuai kekhasan tradisi daerah masing-masing. Motif hias tersebut dibuat pada bidang-bidang, misalnya segi tiga, segi empat, dan lingkaran. Motif-motif hias itu antara lain motif hewan, manusia, geometris, dan motif lain. Ada bermacam-macam motif hias, seperti motif tumbuhan, hewan, manusia, dan motif lain. Motif-motif hias tersebut terdapat pada kain songket, tenun, celup ikat, dan batik. Berikut contoh-contoh motif tumbuhan, hewan, manusia dan motif lain. A. Motif Tumbuhan Motif tumbuhan atau sulur-suluran banyak terdapat pada karya seni rupa tiga dimensi berupa bentuk-bentuk yang telah distilir. Motif tersebut diterakan pada berbagai alat atau media seperti kayu, batu, dan logam. Motif hias tersebut tersebut berfungsi sebagai dekoratif atau sebagai penghias bidang. Beberapa contoh motif tumbuh-tumbuhan terdapat pada serambi muka rumah adat jawa dan Madura. paso kuningan, dan tempat sirih dari Kalimantan Selatan, bejana emas dari klungkung, tempolong dari Jakarta, sarung keris dari Jawa Tengah, tudung emas dan pending perak dari Bima, talam perunggu dari Sidoarjo, dan pada talam perak dari Bima. Motif hias tumbuhan juga banyak terdapat pada kain batik, wujudnya berupa hiasan yang diperoleh dari obyek yang distilir, motif hias tersebut dapat menentukan suatu kain batik pada corak-corak tertentu seperti corak ceplok, corak parang, corak semen, corak wirasat. Motif tumbuhan seperti haknya pada karya seni rupa dua dimensi merupakan lambang kesuburan. Terutama pada motif pohon hayat dan gunungan pada wayang kulit. B. Motif Hewan Motif hewan pada karya seni rupa tiga dimensi berupa bentuk bentuk alami atau yang telah digayakan. Motif hias tersebut dapat berupa motif hias yang diterakan pada suatu media atau berupa karya seni rupa itu sendiri. Beberapa contoh motif hias hewan dapat ditemukan pada tongkat dan hiasan rumah batak yang berupa motif hias hewan kerbau. Selain itu juga terdapat pada tiang rumah dan keranda mayat Toraja. Motif hias gajah terdapat pada batu nisan di Mandailing, keris Bali dan Surakarta. hulu keris Cirebon dan Jawa, Motif hias kuda terdapat pada perahu penjenazahan dan batu nisan Batak, nekara dari Kalimantan, dan kacip besi dari Bali. Motif singa pada keris Jawa dan Bali, bubungan atap rumah Bali. Motif hias burung terdapat pada topi penjuang suku Dayak, perahu kematian suku dayak. Motif hias burung garuda terdapat pada lampu wayang dari Jawa, tiang pelita kayu dari Jawa Barat, pelita kuningan dari Surabaya, dan anglo tanah dari Cirebon. Motif hias ular terdapat pada yoni di Tulungagung, pancuran air kuningan dari Cirebon, keris dari Jawa, cagak gambang kayu dari Jawa, klekes karapan sape dari Madura. Sementara motif hias berupa kura-kura terdapat pada pinggan kayu dari Kalimantan Barat. Motif hewan banyak terdapat pada kain songket dan kain tenun. Motif hias tersebut berupa bentuk-bentuk hewan yang di stilir atau disederhanakan. Contohnya adalah motif kerbau dan motif burung. Selain merupakan lambang benua atas dan bawah, seperti halnya pada karya dua dimensi. Motif hias hewan pada karya seni rupa tiga dimensi memiliki makna yang lain. Beberapa diantaranya merupakan titian bagi orang yang sudah meninggal. Misalnya saja pada motif hias kuda pada perahu penjenazahan dan nisan suku Batak, serta motif kerbau pada suku Toraja. C. Motif Manusia Motif hias manusia banyak terdapat pada karya seni rupa tiga dimensi yang ada di Nusantara. Motif manusia biasanya berupa karya seni rupa itu sendiri yang lebih mirip bentuk aslinya. Selain itu motif manusia ada yang berbentuk wayang dan topeng yang terdapat di beberapa daerah yang ada di Nusantara. Karya seni rupa tersebut terbuat dari bahan kayu, batu, atau logam. Contoh karya seni rupa dengan motif manusia antara lain keris besi Majapahit dan Surakarta, tegal dan Yogyakarta, hulu keris gading dari Cirebon, Jawa Tengah, Buleleng, hulu keris kayu dari jawa, hulu keris emas dari Jawa Tenga, Bali, dan Goa. Dan beberapa bentuk patung misalnya di Muntilan Jawa Tengah, Kasongan, Trowulan, Bali, dan Asmat. Motif hias wayang misalnya terdapat pada piala air suci dari Denpasar, keris dari Jawa Barat, cerana tertutup dari Semarang, mangkuk kuningan dari Kalimantan, mainan dakon dan rebab dari Jawa Barat. Motif manusia dapat terdapat pada kain tenun dan songket, motif hias tersebut juga berbentuk manusia yang distilir atau disederhanakan, contohnya adalah kain tenun songket yang menggambarkan peristiwa penjajahan indonesia . Ragam hias yang terdapat pada topeng-topeng yang ada di Nusantara misalnya saja topeng dari Sumatera berbentuk penstiliran yang masih mendekati raut manusia. Bentuk hiasannya berupa bentuk-bentuk motif-motif pilin berganda. Topeng dari jawa lebih menonjolkan karakter setiap topeng yang menggambarkan seorang tokoh dalam cerita. Motif hias pada bagian atas dan samping menggambarkan suatu aksesoris. Sementara topeng dari Bali banyak didominasi oleh ragam hias sulur-suluran. Sedangkan topeng dari suku Dayak banyak menggunakan motif hias berupa penstiliran bentuk-bentuk alam, termasuk bagian mata, hidung, dan mulut. Topeng dari Papua memiliki motif yang khas karena raut muka dibentuk dengan ornamen-ornamen sederhana. Motif hias pada karya seni rupa tiga dimensi melambangkan nenek moyang atau lambang kesaktian. D. Motif Ilmu Ukur Motif ilmu ukur yang tertera pada karya seni rupa tiga dimensi berupa bentuk-bentuk tumpal, pilin berganda meander, dan swastika. Salah satu contoh motif hias ilmu ukur terdapat pada periuk tertutup dari Makasar, pada hiasan rumah Toraja. Bentuk tumpal terdapat pada genderang kayu dari Kalmantan, pada candi Naga di Blitar. Sedangkan motif hias pilin berganda terdapat pada haluan perahu dari Tanimbar, dan motif hias meander terdapat pada lemari kecil yang berasal dari Palembang, pada koben atau perisai suku Wawi Anim dari Papua. Dari beberapa motif hias ilmu ukur yang ada, beberapa diantaranya sudah diketahui maknanya. Misalnya saja motif swastika sebagai lambang matahari. Masih ada beberapa motif ilmu ukur yang sulit dikelompokkan misalnya saja motif lidah api dan pinggir awan. E. Motif Berupa Adegan Motif hias berupa adegan dalam karya seni rupa tiga dimensi dapat disejajarkan dengan motif hias pada kain batik. Jika pada batik motif-motif yang dipadukan embentuk corak batik, sedangkan pada karya seni rupa tiga dimensi motif-motif yang dipadukan mebentuk relief berupa adegan. Pada kain batik terdapat beberapa motif hias, demikian pula pada suatu adegan. Dalam suatu adengan terdapat motif manusia, hewan, tumbuhan, dan benda-benda yang berkaitan dengan adegan tersebut. Bentuk sikap atau gaya motif hias akan menentukan makna dari adengan tersebut. Contoh motif hias berupa adegan banyak terdapat pada relief. Misalnya saja relief tentang Budha di Candi Borobudur, relief tentang Ramayana pada Candi Prambanan, relief tentang kehidupan pada Candi Panataran, relief tentang sejarah perjuangan pada Tugu Monumen Nasional, dan berbagai relief pada monumen-monumen perjuangan yang lainnya. Motif-motif hias pada karya senia rupa tiga dimensi dari berbagai daerah memiliki keunikan dan ciri khas sendiri-sendiri. Baik dari segi bentuk, teknik pembuatan maupun sejarah keberadaannya masing-masing memiliki ciri yang khas.
Wayang sebagai sebuah produk budaya tidak dapat dilepaskan dari keberadaan masyarakat dan lingkungannya. Begitu juga dengan Wayang Kreasi, diciptakan untuk menjawab persoalan-persoalan sosial dalam dinamika kehidupan masyarakat melalui pendekatan desain dan kebudayaan. Penciptaan Wayang Kreasi didasari atas inspirasi kreatif dari wayang-wayang lain yang sebelumnya pernah ada dengan beberapa penyesuaian-penyesuain bentuk untuk mengikuti perkembangan dan pengetahuan yang ada disuatu masyarakat. Dengan pendekatan interpretatif bentuk, fungsi dan makna, secara kritis peneliti mengamati tokoh-tokoh Wayang Kreasi sebagai refleksi pemikiran, sindiran dan kondisi tentang masyarakat dan dinamikanya di sebuah tatanan masyarakat, sehingga penciptaan ini dapat menjadi warna baru dalam dunia pewayangan dan menambah khasanah seni dan budaya di Indonesia saat ini. Wayang as a cultural product can not be separated from the existence of society and the environment. So also with the Wayang Kreasi, was created to respond social problems in the dynamics of community life through design and culture approach. The creation of Wayang Kreasi is based upon the creative inspiration of the other puppets who previously never existed in some form of adjustments to follow the development and existing knowledge in a society. With the interpretive approach of form, function and meaning, critically researchers observed Wayang Kreasi figures as a reflection of thought, satire and the condition of society and its dynamics in a society, so that creation could be a new color in the world of puppetry and add to their repertoire of art and culture in Indonesia today. Figures - uploaded by Dendi PratamaAuthor contentAll figure content in this area was uploaded by Dendi PratamaContent may be subject to copyright. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free 379 Wayang Kreasi Akulturasi Seni Rupa dalam Penciptaan Wayang Kreasi Berbasis Realitas Kehidupan Masyarakat WAYANG KREASI AKULTURASI SENI RUPA DALAM PENCIPTAAN WAYANG KREASI BERBASIS REALITAS KEHIDUPAN MASYARAKAT Dendi Pratama Program Studi Desain Komunikasi Visual Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Indraprasta PGRI Jl. Nangka 58 Tanjung Barat, Jakarta Selatan, Indonesia dendipratama Abstrak Wayang sebagai sebuah produk budaya tidak dapat dilepaskan dari keberadaan masyarakat dan lingkungannya. Begitu juga dengan Wayang Kreasi, diciptakan untuk menjawab persoalan-persoalan sosial dalam dinamika kehidupan masyarakat melalui pendekatan desain dan kebudayaan. Penciptaan Wayang Kreasi didasari atas inspirasi kreatif dari wayang-wayang lain yang sebelumnya pernah ada dengan beberapa penyesuaian-penyesuain bentuk untuk mengikuti perkembangan dan pengetahuan yang ada disuatu masyarakat. Dengan pendekatan interpretatif bentuk, fungsi dan makna, secara kritis peneliti mengamati tokoh-tokoh Wayang Kreasi sebagai refleksi pemikiran, sindiran dan kondisi tentang masyarakat dan dinamikanya di sebuah tatanan masyarakat, sehingga penciptaan ini dapat menjadi warna baru dalam dunia pewayangan dan menambah khasanah seni dan budaya di Indonesia saat ini. Kata Kunci Wayang Kreasi, Kebudayaan, Desain dan Sosial Wayang Kreasi Acculturation of Fine Arts in Creative Puppet Creation Reality-Based Community Life Abstract Wayang as a cultural product can not be separated from the existence of society and the environment. So also with the Wayang Kreasi, was created to respond social problems in the dynamics of community life through design and culture approach. The creation of Wayang Kreasi is based upon the creative inspiration of the other puppets who previously never existed in some form of adjustments to follow the development and existing knowledge in a society. With the interpretive approach of form, function and meaning, critically researchers observed Wayang Kreasi figures as a reflection of thought, satire and the condition of society and its dynamics in a society, so that creation could be a new color in the world of puppetry and add to their repertoire of art and culture in Indonesia today. Keywords Puppet Creation, Culture, Design and Social Vol. 03 Oktober - Desember 2011 380 A. PENDAHULUAN Wayang sebagai sebuah produk budaya tidak dapat dilepaskan dari keberadaan masyarakat dan lingkungannya, sehingga terintegrasi dengan kebudayaan pada masyarakat tersebut. Di masa sekarang, terutama pada masyarakat perkotaan, bahkan mengalami pengasingan dan marjinalisasi dalam dinamika sosial-budaya masyarakat. Kenyataan tersebut dapat dilihat dari kemunculan wayang-wayang kreasi, produk budaya yang mengalami transformasi dari unsur- unsur lamanya yakni unsur-unsur tradisional. Keberadaan wayang yang sebelumnya diterima oleh masyarakat sebagai bentuk produk budaya dengan nilai-nilai tradisional, yang direfleksikan melalui bentuk, ukiran, cerita hingga pementasannya, kini dengan kemunculan wayang kreasi terjadi modifikasi bentuk, ukiran, cerita hingga pementasannya sebagai sebuah konsekuensi dinamika sosial-budaya pada masyarakat. Keberadaan wayang kreasi ini akhirnya menjadi sebuah dinamika tersendiri yang menggambarkan penempatan posisi wayang tersebut, dalam lingkup pencitraan produk kebudayaan tradisional yang berada dalam bingkai kehidupan masyarakat. Kemunculan wayang kreasi sebagai transformasi wayang tradisional menjadi wayang kontemporer menunjukkan beberapa hal yang menarik pertama, wayang yang pada mulanya menjadi media sarana upacara keagamaan dan menyebarluaskan ajaran agama, yang memberi gambaran atau pedoman bagaimana masyarakat bersikap, berperilaku dan menjalani kehidupan di dunia ini sesuai dengan nilai-nilai tradisional yang menekankan pada keseimbangan, berubah menjadi sebuah media yang menggambarkan bagaimana manusia hari ini, khususnya dalam dinamika masyarakat berperilaku, bersikap dan bertingkah laku. Semua itu diwujudkan dalam konsep mitos yang menjadi unsur-unsur dalam wayang, dimana mitos dimaknai sebagai sebuah cerita yang memberikan pedoman dan arah tertentu kepada sekelompok orang Van Peursen, 1988 37. Kemunculan wayang kreasi menjadi sebuah refleksi atau kritik terhadap perkembangan masyarakat 381 Wayang Kreasi Akulturasi Seni Rupa dalam Penciptaan Wayang Kreasi Berbasis Realitas Kehidupan Masyarakat modern saat ini, khususnya dalam dimensi kebudayaan, dimana manusia bisa belajar tentang sifat, bentuk, perkembangan dari sesuatu dan bagaimana membangun sesuatu. Seperti yang dikatakan Immanuel Kant, ciri khas dari kebudayaan terdapat dalam kemampuan manusia untuk mengajar dirinya sendiri. Berangkat dari pemahaman itu perkembangan dari kebudayaan harus selalu dievaluasi sehingga ia sadar, bahwa seingkali ada sesuatu yang tidak beres dan dengan demikian dengan jatuh dan bangun ia dapat maju Van Peursen, 1988 14. Kedua, wayang kreasi menunjukkan kepada kita tentang sebuah sistem pengetahuan, karena dalam konstruksi wayang dimana unsur mitos berada di dalamnya memiliki fungsi sebagai pemberi pengetahuan tentang dunia Van Peursen, 1988 41. Pemahaman tersebut juga senada dengan yang diungkapkan oleh Kuntowijoyo mengenai produk kebudayaan wayang menjadi semacam media bagi proses pendidikan humaniora dalam masyarakat jawa, yang dimaksud dengan pendidikan humaniora yakni semacam pendidikan yang mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan dan pernyataan-pernyataan simbolisnya merupakan bagian yang integral dari sebuah sistem kebudayaan Kuntowijoyo, 1987 37. Ketiga, dalam wayang kreasi kita juga akan melihat tentang nilai-nilai mendasar mengenai pola-pola kehidupan masyarakat yang melalui pengalamannya tersimpan tidak saja jalinan dari sebuah hubungan produksi dari sistem ekonomi, juga menggambarkan hubungan yang bersifat kultural sebagai satu bagian yang utuh dengan yang bersifat sosial, yang pada gilirannya memuat unsur-unsur kondisi bagi produksi dan konsumsi, lembaga-lembaga kultur, model sirkulasi, dan produk budaya itu sendiri. Tulisan ini merupakan hasil dari penelitian yang dilakukan berdasarkan minimnya penelitian dan referensi akademik yang mengulas tentang wayang kreasi, terutama tentang penciptaan wayang jenis baru. Penciptaan wayang- Vol. 03 Oktober - Desember 2011 382 wayang kreasi baru masih sangat jarang dilakukan terutama oleh kalangan akademik atau yang bukan masyarakat pedalangan/ pewayangan. Oleh karena itu, dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan sumber referensi mengenai wayang kreasi, serta dapat menarik minat masyarakat terutama masyarakat akademisi untuk lebih sering lagi mengangkat tema wayang dalam penelitian dan penciptaan karya, sehingga kebudayaan-kebudayaan masyarakat Indonesia dapat terus lestari. Penelitian yang dilakukan menggunakan jenis penelitian kualitatif, dimana menurut pandangan Levi Strauss dalam Nyoman Kutha Ratna 2010 97, kualitatif adalah peneliti dalam dirinya sendiri atau dalam pengertian lain yaitu bricolor, manusia serba bisa atau seorang pribadi yang mandiri dan profesional. Dari pengertian tersebut, Denzin dan Lincoln menjelaskan lebih lanjut bahwa proses kualitatif merupakan proses interaktif yang dibentuk sejarah personal, biografi, gender, kelas sosial, ras, etnis dan sebagainya, dengan sudut pandang yang berbeda sebagai perbedaan gaya, epistemologi, dan representasi Ratna, 2010 101. Beberapa hal yang ditempatkan sebagai sumber data dalam penelitian ini terbagi menjadi 2 dua yaitu data sekunder berupa hasil-hasil artefak pada wayang kulit Purwa, wayang-wayang kontemporer dan data primer berupa hasil-hasil pendalaman informasi dengan dalang, pembuat wayang, pemerhati wayang serta masyarakat yang memahami seni pewayangan sebagai bagian dari budaya Nusantara. B. PEMBAHASAN 1. Akulturasi Seni Rupa Akulturasi merupakan proses bertemunya dua identitas yang berbeda, kemudian, menjalin kontak identitas dan menjadikan keduanya mendapatkan pertukaran sebagian identitas. Sebagai bagian yang 383 Wayang Kreasi Akulturasi Seni Rupa dalam Penciptaan Wayang Kreasi Berbasis Realitas Kehidupan Masyarakat universal, akulturasi dapat dilihat dari proses kebudayaan. Dalam konteks kebudayaan, proses akulturasi adalah suatu proses interaktif dan berkesinambungan yang berkembang secara mendalam dan melalui komunikasi seorang imigran dengan lingkungan sosial-budaya yang baru. Salah satu bentuk adanya komunikasi dalam sebuah akulturasi budaya dapat dilihat pada hasil peninggalan berupa artefak-artefak, baik berupa karya seni rupa maupun arsitektur yang ada di suatu daerah. Terjadinya proses akulturasi disebabkan oleh faktor komunikasi, yang dilalui oleh individu untuk memperoleh aturan-aturan budaya dimulai pada masa-masa awal kehidupan dengan cara proses sosialisasi dan pendidikan, pola-pola budaya tersebut ditanamkan kedalam sistem saraf dan menjadi bagian kepribadian dan perilaku. Proses ini memungkinkan manusia untuk berinteraksi dengan anggota-anggota budaya lainnya yang juga memiliki pola-pola komunikasi serupa. Pertemuan antara dua kebudayaan akan terjadi komunikasi pada kedua kebudayan tersebut, dan membawa akulturasi. Kebudayaan yang kuat dan atau dianggap baik biasanya mewarnai kebudayaan satunya. Bahkan dapat terjadi bahwa dua kebudayaan saling berakulturasi, saling mempengaruhi antara kebudayaan imigran dengan kebudayaan pribumi, yang pada akhirnya akan melahirkan suatu kebudayaan baru. Kebudayaan baru tersebut bisa berupa norma-norma, perilaku, bahasa maupun kesenian, diantaranya seni arsitektur. Menurut Koentjaraningrat 1977 proses akulturasi yang utama adalah unsur diterimanya kebudayaan asing yang diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan lenyapnya kepribadian kebudayaan asal. Dengan adanya kontak budaya tersebut, memungkinkan terjadinya proses peniruan dan atau modifikasi dari hasil perturakaran budaya tersebut. Kemudian, sifat meniru bukanlah hal yang tidak mungkin dalam kebudayaan, akan tetapi merupakan sifat dari masyarakat dimanapun juga. Vol. 03 Oktober - Desember 2011 384 Hubungan proses akulturasi dalam kebudayaan, juga terjadi pada konteks seni rupa. Akulturasi seni rupa terjadi pada elemen visual atau grafis misalnya ketika masyarakat tiongkok bertemu dengan masyarakat jawa, maka akan terjadi pertukaran kesesuaian elemen desain yang diaktualisasikan dalam bentuk-bentuk artefaknya. Dengan demikian seni rupa merupakan hasil akhir dari aktualisasi budaya yang berlangsung di suatu masyarakat. 2. Wayang Kreasi Batasan pengertian Wayang Kreasi pada penelitian ini adalah wayang-wayang hasil kreasi baru yang tidak mengikuti pakem Wayang Kulit Purwa berupa cerita dan rupa bentuk, baik sebagian maupun keseluruhan. Penciptaan Wayang Kreasi dilakukan karena berbagai alasan, seperti kebutuhan untuk menceritakan kisah-kisah kehidupan atau sejarah masyarakat selain Mahabharata dan Ramayana, sebagai media informasi atau penyuluhan, sampai alasan komersial. Alasan lain dikemukakan, perlunya penciptaan wayang kreasi baru karena wayang pakem sudah mulai ditinggalkan oleh masyarakat modern karena dianggap sudah tidak sesuai dengan kondisi dan kebutuhan zaman, seperti pertunjukan yang kaku baik dari tata bahasa dan cerita maupun lamanya waktu pertunjukan. Ki Enthus Susmono dalam video rekaman wawancara saat melakukan pergelaran di Museum Troopen Belanda, menjelaskan bahwa dunia pedalangan/ pewayangan akan bisa berkembang jika didukung oleh berbagai disiplin ilmu di luar pedalangan. Selama ini, dunia pedalangan masih kaku atau terlalu terikat oleh pakem, selain itu kegagalan dari pewayangan adalah karena tidak adanya kesesuaian antara penyaji/ dalang dengan konsumen/ penonton sehingga sering ditinggal pergi oleh penontonnya. Oleh karena itu perlu diciptakan wayang-wayang baru/ wayang kreasi yang aktual dan kontekstual dengan masa kini, sehingga 385 Wayang Kreasi Akulturasi Seni Rupa dalam Penciptaan Wayang Kreasi Berbasis Realitas Kehidupan Masyarakat perlu diciptakan tokoh-tokoh dan cerita yang lebih bisa diterima oleh masyarakat masa kini, terutama generasi muda. Heri Dono menyampaikan bahwa terjadi gap/ kesenjangan antara seniman wayang tua yang masih berpegang pada anggapan wayang adalah benda keramat yang tidak bisa disentuh sembarangan, dengan generasi muda yang tidak bisa berbuat hal kreatif pada dunia pewayangan, yang mengakibatkan generasi muda tersebut beralih pada media hiburan modern. Hal ini mengakibatkan wayang semakin ditinggalkan dan ditampilkan hanya pada acara-acara tertentu saja, yang kemudian mempengaruhi penghidupan para pekerja pedalangan serta pewayangan Yudoseputro, 1993 29,. 3. Jenis-jenis Wayang Kreasi Dalam penelitian ini akan dibahas beberapa jenis wayang kreasi yang pernah ada dan berkembang di Indonesia, yaitu a. Wayang Revolusi Wayang revolusi diciptakan untuk keperluan propaganda pada masa kemerdekaan Indonesia. Tokoh-tokoh Wayang Revolusi menggambarkan tokoh-tokoh revolusi Indonesia, pejuang, masyarakat dan penjajah kolonial. Saat ini Wayang Revolusi yang berjumlah sekitar 150 buah tersimpan di Museum Bronbeek, Belanda. Sedangkan di Indonesia, terdapat 8 buah Wayang Revolusi yang disumbangkan oleh Museum Bronbeek kepada Museum Wayang Jakarta. Berikut adalah bentuk Wayang revolusi yang menggambarkan tokoh Sukarno sebagai tokoh revolusi Indonesia yang kemudian menjadi Presiden Republik Indonesia, berhadapan dengan tokoh kolonial/ penjajah. Vol. 03 Oktober - Desember 2011 386 Gambar 1. Tokoh Ir. Soekarno pada Wayang Revolusi Sumber Dokumentasi Museum Bronbeek- Belanda Gambar 2. Tokoh Kolonial pada Wayang Revolusi Sumber Dokumentasi Museum Bronbeek- Belanda 387 Wayang Kreasi Akulturasi Seni Rupa dalam Penciptaan Wayang Kreasi Berbasis Realitas Kehidupan Masyarakat b. Wayang Kreasi Karya Ki Enthus Susmono Ki Enthus Susmono, seorang dalang dan pencipta wayang, pernah mendapatkan rekor dari Museum Rekor Indonesia MURI karena menciptakan lebih dari 1400 wayang dari berbagai gaya dan jenis, terutama karena banyak menciptakan wayang kreasi baru. Beberapa karya wayang kreasi beliau adalah 1 Wayang Rai Wong Wayang Rai Wong adalah wayang hasil kreasi Ki Enthus Susmono yang mengkreasikan sebagian rupa bentuk Wayang Kulit Purwa. Sesuai namanya, Rai Wong, Rai yang berarti kepala/ wajah sedangkan Wong berarti manusia, hasil kreasi pada jenis wayang ini adalah kreasi visualisasi wajah wayang, tidak lagi seperti halnya Wayang Kulit Purwa, yang mengalami distorsi bentuk, Wayang Rai Wong dibuat dengan bentuk wajah berupa karikatur menyerupai wajah manusia, sedangkan bagian badan ada yang tetap mengikuti pakem Wayang Kulit Purwa, namun ada juga yang lepas dari pakem tersebut. Sedangkan tokoh-tokoh pada jenis wayang ini masih ada yang menggunakan tokoh-tokoh pada Wayang Kulit Purwa, seperti Wekudara, Gatutkaca dan Para Punakawan. Selain itu adapula yang menggunakan tokoh-tokoh politik atau tokoh masyarakat serta penggabungan keduanya, yaitu menggambarkan tokoh politik namun dengan menggunakan atribut dan karakter Wayang Kulit Purwa yang telah disesuaikan, misalnya tokoh George Bush, mantan Presiden Amerika Serikat yang dikenal sebagai pencetus Perang Teluk, digambarkan dengan karakter Batara Guru pada Wayang Kulit Purwa. Vol. 03 Oktober - Desember 2011 388 Di bawah ini adalah contoh karya Wayang Rai Wong Gambar 3. Tokoh Wekudara pada Wayang Rai Wong Koleksi Ki Enthus Susmono Pada gambar di atas, dapat dilihat bahwa struktur dan ornamen pada wayang Werkudara masih tetap sesuai dengan tokoh Werkudara pada Wayang Kulit Purwa, perubahan dilakukan hanya pada bagian wajah, yang lebih mendekati realis dengan teknik karikatur. Bentuk lain dari Wayang Rai Wong dapat dilihat pada gambar berikut, yang mengambil tokoh George Bush dan Saddam Husein. 389 Wayang Kreasi Akulturasi Seni Rupa dalam Penciptaan Wayang Kreasi Berbasis Realitas Kehidupan Masyarakat Gambar 4. Geoge Bush vs Saddam Hussein pada Wayang Rai Wong Koleksi Ki Enthus Susmono Pada gambar di atas, dapat dilihat struktur tubuh masih mengikuti struktur Wayang Kulit, namun elemen-elemen visual sudah menjauh dari pakem dan menyesuaikan dengan atribut tokoh yang digunakan, misalnya tokoh Saddam Husein menggunakan baju tentara dan topi baret, walaupun masih digunakan juga atribut-atribut tradisional pada Wayang Kulit seperti Praba yang digunakan oleh tokoh George Bush. Pada gambar di bawah ini, tokoh George Bush didekatkan’ dengan tokoh Batara Guru pada Wayang Kulit Purwa, dengan menggunakan simbol-simbol Batara Guru yang diaplikasikan kepada tokoh George Bush, seperti tangan yang berjumlah empat buah, namun senjata yang digenggam disesuaikan dengan senjata pada masa kini, yaitu granat, senapan dan pistol. Simbol lain, yaitu lembu tunggangan Batara guru, diganti badannya menjadi bola Vol. 03 Oktober - Desember 2011 390 dunia, seolah-olah George Bush adalah penunggang’ atau penguasa dunia. Gambar 5. Wayang Rai Wong Geoge Bush Batara Guru Koleksi Ki Enthus Susmono 2 Wayang Superstar Wayang Superstar adalah wayang hasil kreasi yang menggambarkan tokoh-tokoh pahlawan super dan tokoh-tokoh film yang dibuat oleh negara barat. Ki Enthus Susmono menciptakan Wayang Superstar karena menurutnya anak-anak sekarang lebih mengenal tokoh-tokoh pahlawan dari luar negeri, seperti Batman, Superman, Ksatria Baja Hitam dan tokoh film seperti Harry Potter. Berdasarkan hal tersebut, beliau menciptakan wayang yang berdasarkan tokoh pahlawan super tersebut dan mempertemukan dengan tokoh wayang tradisional seperti Gatotkaca di dalam pertunjukan wayang. 391 Wayang Kreasi Akulturasi Seni Rupa dalam Penciptaan Wayang Kreasi Berbasis Realitas Kehidupan Masyarakat Wayang Superstar dilihat dari rupa bentuknya mengambil penggambaran tokoh-tokoh pahlawan super yang dikenal oleh anak-anak namun tetap menggunakan struktur wayang, dengan bentuk yang mendekati realis. Posisi bentuk wayangpun beragam, mulai dari posisi berdiri dengan lengan yang tetap dibuat lebih panjang dari struktur badan, sampai posisi yang tidak lazim pada bentuk wayang, yaitu Wayang Superman dengan posisi terbang. Wayang ini mendapatkan apresiasi tinggi di negeri Belanda dan telah dipergelarkan di Teater Tropen Tropentheater Belanda. Berikut adalah gambar Wayang Superstar adalah tokoh Superman dengan posisi terbang Gambar 6. Wayang Superstar Superman Koleksi Ki Enthus Susmono c. Wayang Kampung Sebelah Karya Ki Jlitheng Suparman Wayang Kampung Sebelah yang diciptakan oleh Ki Jlitheng Suparman merupakan pengembangan dari Wayang Kampung yang diciptakan oleh Suharman Mance seorang dosen dari Surabaya. Wayang Kampung Sebelah kemudian dikembangkan oleh Ki Jlitheng dengan beragam tokoh yang berperan dalam dinamika masyarakat kampung. Cerita atau lakon pada Wayang Kampung Sebelah menggambarkan kehidupan masyarakat pedesaan dengan dinamikanya, dimana pada Vol. 03 Oktober - Desember 2011 392 setiap pementasan selalu mengangkat isu-isu terkini seperti kondisi masyarakat, kondisi politik termasuk kesenjangan masyarakat miskin dengan masyarakat berada, tokoh pejabat dengan rakyat, dimana cerita-cerita tersebut menggambarkan realitas kehidupan masyarakat terutama masyarakat pedesaan yang terjadi sehari-hari. Tokoh-tokoh pada Wayang Kampung Sebelah juga menggambarkan tokoh-tkoh pada masyarakat secara umum, seperti Lurah, Hansip, Pemuda kampung, dan Petugas penyuluhan. Berikut ini adalah salah satu gambar tokoh Wayang Kampung Sebelah. Gambar 7. Wayang Kampung, Tokoh Lurah Somad Sumber 4. Penciptaan Wayang Kreasi sebagai Bentuk Pelestarian Budaya Budaya, terutama tradisi kebudayaan lokal dalam hal ini khususnya pewayangan, memberikan identitas yang unik kepada masyarakat dalam kehidupan bermasyarakatnya. Berkaitan dengan hal tersebut tentu perlu dilakukan identifikasi elemen-elemen budaya lokal dan upaya 393 Wayang Kreasi Akulturasi Seni Rupa dalam Penciptaan Wayang Kreasi Berbasis Realitas Kehidupan Masyarakat pelestariannya guna mendukung pembangunan masyarakat Kuswaryanto dalam Haryono, 2009 118. Perkembangan masyarakat dengan pengaruh ekonomi dan teknologi memaksa seni pewayangan untuk ikut menyesuaikan diri, namun perlu adanya batasan-batasan agar tradisi budaya tradisional tidak melacur’ dan terjebak pada kepentingan industri. Tradisi-tradisi tertentu masih harus dipertahankan untuk menjaga keseimbangan kehidupan pada masyarakat sesuai dengan falsafah masyarakat Nusantara. Oleh karena itu perlu dipahami sejauh mana seni pewayangan dapat bertransformasi sesuai jaman atau sebaliknya harus dipertahankan untuk menjaga masyarakat tidak tenggelam oleh derasnya arus negatif yang disebabkan pesatnya kemajuan jaman. C. PENUTUP 1. Kesimpulan Wayang sebagai sebuah produk budaya tidak dapat dilepaskan dari keberadaan masyarakat dan lingkungannya, sehingga terintegrasi dengan kebudayaan pada masyarakat tersebut. Begitu juga dengan Desain, keilmuannya pun menuntut dirinya untuk berelasi dengan keilmuan lain yang kemudian dijadikan sandaran untuk mampu mengembangkan bentuk-bentuk lain yang sesuai dengan realitas dilingkungan masyarakat. Wayang Kreasi sebagai inspirasi dari wayang-wayang lain yang sebelumnya pernah ada adalah bentuk komprehensif antara dimensi kebudayaan, desain dan sosial. Wayang Kreasi menitik beratkan fungsinya hanya untuk menjembatani masyarakat untuk kembali kepada karya kearifan lokal dan memberikan penyadaran bahwa pelestarian produk budaya seperti wayang menjadi penting untuk terus dikembangkan kedalam penyesuaian-penyesuain bentuk untuk mengikuti perkembangan dan pengetahuan yang ada disuatu masyarakat di daerahnya. Tokoh-tokoh Wayang Kreasi yang dimunculkan dalam kreasi para seniman pewayangan atau dalang adalah representatif atas munculnya kelas-kelas dan atau kelompok masyarakat Vol. 03 Oktober - Desember 2011 394 Dengan demikian, penciptaan atas Wayang Kreasi menjadi penting bagi peneliti untuk menjawab persoalan-persoalan sosial melalui pendekatan kebudayaan dan desain. Dengan tetap mengedapankan obyektivitas atas interpretasi peneliti, semoga penciptaan ini menjadi inspirasi kepada para pembaca untuk menciptakan produk-produk budaya yang sejenis seperti Wayang Kreasi dan lain sebagainya. 2. Saran Beberapa hal yang menjadi perlunya perhatian dalam mengamati segala hal yang dirasa kurang optimal atas penciptaan ini adalah sebagai berikut, pertama, Wayang Kreasi sebagai solusi atas pemecahan masalah sosial dalam dinamika masyarakat, terutama sebagai fungsinya untuk menjembatani masyarakat kembali kepada karya kearifan lokal dan memberikan penyadaran bahwa pelestarian produk budaya masih belum optimal, karena penciptaan tokoh-tokoh dan cerita-ceritanya belum mewakili secara keseluruhan dari dinamika masyarakat. Sehingga perlu dirancang kembali tokoh-tokoh yang belum dianggap muncul dalam dinamika kehidupan masyarakat. Kedua, pendukung pergelaran Wayang Kreasi belum dirancang sedemikian rupa untuk melengkapi proses penciptaan Wayang Kreasi secara holistik. Sehingga diperlukan penciptaan seperti, cerita, musik atau soundeffect, layar/kelir dan tata pencahayaan yang disesuaikan dengan tema/ konsep Wayang Kreasi yang diciptakan. DAFTAR PUSTAKA Denzin, Norman K., dan Iyvonna S. Lincoln. 2009. Qualitative Research. Yogyakarta Pustaka Pelajar. Dharsono. 2004. Pengantar Estetika. Bandung Rekayasa Sains. . 2007. Estetika Seni Rupa Nusantara. Surakarta ISI Press Solo. 395 Wayang Kreasi Akulturasi Seni Rupa dalam Penciptaan Wayang Kreasi Berbasis Realitas Kehidupan Masyarakat Haryanto, S. 1988. Pratiwimba Adiluhung Sejarah dan Perkembangan Wayang. Jakarta Djambatan. _________. 1991. Seni Kriya Wayang Kulit. Jakarta Pustaka Utama Grafiti. . 1995. Bayang-bayang Adiluhung. Jakarta Djambatan. Koentjaraningrat. 1977. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta Dian Rakyat. . 2001. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta Rineka Cipta. Kuntowijoyo. 1987. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta Tiara Wacana. . 2001. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta Bentang. Kuswaryanto. “Art for Art dan Art for Mart Orientasi Pelestarian dan Pengembangan Seni Pertunjukan Tradisional”, dalam Timbul Haryono. 2009. Seni Dalam Dimensi Bentuk, Ruang, Dan Waktu. Wedatama Widya Sastra, Jakarta. Lash, Scott. 2008. Sosiologi Postmodernisme. Yogyakarta Penerbit Kanisius. Mulyono, Sri. 1982. Wayang Asal-usul, Filsafat dan Masa Depannya. Jakarta Gunung Agung. Ratna, Nyoman Kutha. 2010. Metodologi Penelitian Kajian Budaya dan Ilmu Sosial Humaniora Pada Umumnya. Yogyakarta Pustaka Pelajar. Ritzer, George and Douglas J. Goodman. 2008. Teori Sosiologi Modern. Jakarta Kencana Prenada Media Group. Sigit Sukasman. ”Segi Seni Rupa Wayang Kulit Purwa dan Perkembangannya”, dalam Yudoseputro, Wiyoso. 1993. Rupa Wayang Dalam Seni Rupa Kontemporer Indonesia. Jakarta Senawangi. Soetarno. 2007. Sejarah Pedalangan. Surakarta Institut Seni Indonesia. Sunarto. 1997. Seni Gatra Wayang Kulit Purwa. Semarang Dahara Prize. Van Peursen, Prof. Dr. 1976. Strategi Kebudayaan. Yogyakarta Penerbit Kanisius. Yudoseputro, Wiyoso. 1993. Rupa Wayang Dalam Seni Rupa Kontemporer Indonesia. Jakarta Senawangi. Vol. 03 Oktober - Desember 2011 396 Artikel pada Jurnal Ilmiah Cohen, Matthew Isaac. 2007. “Contemporary Wayang in Global Contexts” dalam Asian Theatre Journal, vol. 24, no. 2. Murwandani, Nunuk Giari. 2007. “Arsitektur Interior Keraton Sumenep sebagai Wujud Komunikasi dan Akulturasi Budaya Madura, Cina dan Belanda” dalam Dimensi Interior, Vol. 5, No. 2. Poplawska, Marzanna. 2004. “Wayang Wahyu as an Example of Christian Forms of Shadow Theatre” dalam Asian Theatre Journal, vol. 21, no. 2 ... The goal is that the puppet art does not disappear due to a lack of interest from the younger generation. As a cultural product, wayang must integrate its existence with society and its environment Pratama 2015. Therefore, various types of creative wayang emerged, each of which has ways, creative ideas, and goals to preserve the art of wayang in this millennial era. ...... Therefore, various types of creative wayang emerged, each of which has ways, creative ideas, and goals to preserve the art of wayang in this millennial era. Creative puppets are puppets that do not follow the standard of wayang kulit purwa in the form of stories and arrangements, either partially or completely Pratama 2015. Long before creating this superhero avenger puppet, in 2001, Ki Enthus Susmono had also made wayang creations based on creating his characters from DC Comic superheroes, namely Batman and Superman. ...Taufiq Akbar Dendi PratamaSarwanto SarwantoSunardi SunardiThis article discusses the fusion and blending of the concept of wayang as a traditional culture with comics and films as products of contemporary culture that gave birth to new wayang creations with sources adapted from “Avenger” superhero characters. The making of wayang avenger is to maintain the art of craftsmanship in wayang kulit, namely considering the existence of attributes in traditional wayang with the necessary adjustments to the Avenger superhero outfit. Revealing the results of research on the Avenger Creation Wayang is very important because it can explain the process of changing the shape, appearance and addition of wayang attributes as a manifestation of adaptation to traditional wayang puppets, namely wayang kulit purwa. This article attempts to provide descriptive and interpretive explanations of the visual adaptation process by the creator in the formation of wayang avenger. The approach in this study uses Erwin Panofsky’s iconographic approach with the support of art structure theory and vehicle transfer. The result is the presence of Wayang Kreasi Avenger as a form of fusion between traditional culture and contemporary culture. This development shows the love of the community for the potential of influencing traditional cultural heritage and the interaction with the potential of contemporary culture which is very strong, giving rise to the idea of adaptation as a reflection of the environment and its social structure.... For Prama, the puppetry arts have to be preserved as its persistent stories and settings. However, for Rafi, the puppetry arts have to be preserved but need to be altered for its stories and settings due to world issues Pratama, 2011. ...Amrina RosyadaDendi PratamaWidya WidyaAs one of the Indonesian honors, puppetry arts are supposed to be socialized and preserved for future generations. It needs creative, interactive, and digital-based media due to the fast and unstoppable global changes. This research aimed to demonstrate the use of YouTube as one of the interesting and interactive media platforms in learning the puppetry arts independently for the duo puppeteer brothers, Prama and Rafi. By applying a qualitative research design with narrative analysis, this research had literally observed, virtually interviewed, and digitally documented a set of questionnaires to the duo puppeteer brothers. Several data were also collected from secondary sources such as YouTube channels and online news. Unlike other little puppeteers who learn the puppetry arts in a studio, the results revealed that the duo puppeteer brothers had never joined any puppetry arts studio. At the age of 16 and 13 years old, they have been learning the puppetry arts through YouTube channels for years to identify different styles of professional puppeteers in performing the puppets’ shows. Using YouTube channels, the duo puppeteer brothers enjoy the puppetry arts learning and could preserve the national noble values and study explains the phenomenon of the living qur'an practiced by the Tebuwung Society in Dukun, Gresik, East Java, regarding the meaning of surah Yusuf and Maryam in the tingkepantradition. The Qur'anic phenomenon in this pregnancy ritual is a form of meaning of the Qur'an's content that surrounds the local community's life. Based on qualitative research with a phenomenological approach, while data were obtained through in-depth interviews, observation, and documentation, this study tries to explain the phenomenon of the tingkepantradition, the public's reception of surahYusuf and Maryam, and the influence of reading the two surahsin the tingkepantradition. Based on Karl Mannheim's perspective and the social construction of Peter L. Berger, the study's results show that the awareness of the Qur'an that exists in the community is built through the religious understanding of the central figures of religion at local level. From these central figures, awareness emerged from understanding the ideas and moral messages of surahYusuf and Maryam in the hope of having descendants that handsome or beautiful face and character as depicted in the two surahs. Apart from being local wisdom, this tingkepan tradition constructively demonstrates the community's belief that the creation of man is closely related to the Oneness of God since he/she was in the MahardhiniNurul FatmiamzyDewi Arimbi merupakan tokoh wayang yang dikenal sebagai Raksesi, sosok wanita yang tidak menyerah memperjuangkan cintanya kepada Bima. Karena kecantikan hati dan ketulusan cintanya, membuat DewiKunti ibundadari Bima menyukai Arimbi dan mengubahnya menjadi sosok wanita yang jelita. Disisi lain sifatnya yang patut menjadi teladan terutama bagi kaum perempuan, serta sedikitnya masyarakat yang tahu akan tokoh DewiArimbi, perlunya pelestarian wayang yang diikuti perkembangan zaman. Maka dari itu karakter visualisasi tokoh wayang Dewi Arimbi dalam buku ilustrasi Dewi Arimbi, diciptakan agar masyarakat lebih mudah mengenal dan menerima, sehingga kesenian wayang Indonesia tetap terdapat satu bentuk kesenian wayang kontemporer yang sangat unik yaitu kesenian wayang ajen. Keunikan wayang ajen terletak pada ceritanya yang mengangkat isu-isu terkini, gerakan wayang yang dimainkan dalang, dan juga terletak pada tata panggung yang lebih modern menggunakan lighting, dan audio visual yang menarik. Dalam pertunjukannya berusaha meyisipkan pesan bermakna bagi perbaikan ataupun peningkatan kehidupan masyarakat yang menikmatinya pesan untuk menghadapi situasi yang sedang berkembang. Belum ditemukan kajian yang membahasnya melalui pendekatan keilmuan psikologi. Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian ini dilakukan untuk menggali secara kualitatif tentang proses-proses aktivitas dan peristiwa yang mengandung nilai-nilai psikologis pada kesenian wayang ajen. Penggaliannya dilakukan dengan melibatkan dua narasumber penting yang berperan dalam penciptaan kesenian wayang ajen, dan juga dalam pengembangannya sebagai seni pertunjukan yang progresif, dan unit analisis lainnya tayangan pertunjukan dan dokumentasi cetak. Hasil penelitian memperoleh tema-tema yang berkaitan dengan sejarah kesenian wayang ajen dan nilai-nilai psikologis wayang ajen yaitu; pertama nilai sosiologis-psikologis, kedua Nilai 4R Raga, rasa, rasio, dan roh, ketiga nilai moral dan spiritual, keempat pendekatan psikologi sosial reorganisasi kognitif, reorganisasi emosi, dan perubahan perilaku sosial. Kesemua hasil tersebut menjelaskan bahwa pertunjukan kesenian wayang ajen dapat menjadi media psikososial-edukasi untuk menyampaikan nilai-nilai kehidupan yang Nadya RamadhaniFauzi RahmanWayang merupakan suatu produk budaya Indonesia yang kini semakin kurang diminati oleh masyarakat karena pakem wayang yang ada dianggap terlalu kaku, baik dari segi tata bahasa yang digunakan maupun lamanya durasi pertunjukan yang tidak sesuai dengan kebutuhan dan keadaan zaman. Untuk mengatasi hal tersebut maka para seniman wayang berkreasi dan menciptakan wayang jenis baru, salah satunya adalah Wayang Ukur. Wayang Ukur merupakan wayang kulit inovasi baru yang diciptakan oleh Ki Sigit Sukasman. Inovasi yang dilakukan tidak hanya dari segi bentuk tetapi juga mencangkup seni pertunjukannya. Demi melestarikan Wayang Ukur agar tidak ditinggalkan oleh masyarakat, maka diperlukannya sebuah media berupa buku informasi yang dapat menampung segala informasi mengenai Wayang Ukur sehingga mempermudah masyarakat, terutama yang tertarik dengan kesenian, budaya, maupun dengan wayang ukur itu sendiri dapat mendapatkan informasi yang lengkap mengenai wayang ukur. Matthew CohenTraditional norms and values stood in the way of radical experimentation with the form of wayang until Indonesia's postcolonial era. The same impediments did not exist for colonial European artists. Edward Gordon Craig formulated his theories of the ūber-marionette with reference to wayang, while Richard Teschner adapted wayang puppets for his unique Viennese puppet theatre. This initial encounter of Europe with wayang articulated a pattern of colonial exploitation Asian products were alienated from their producers and transported to Europe stripped of direct connections to the people and conditions from which they arose. The 1960s ushered in a new era of intercultural communication. A major influx of Indonesian puppetry came to the United States when a generation of budding American puppet artists received direct tuition from Indonesian puppet masters at California summer schools in the early 1970s. Many subsequently went to Java and Bali themselves for lengthy periods of wayang study and apprenticeship. Some of these artists crossed traditional Indonesian puppets forms with other modes of practice to create complex hybrids. Much of the most interesting contemporary wayang work today is taking place along transnational axes. Wayang has been embraced by international artists and companies in order to tell idiosyncratic myths and celebrate the sacred and the ethereal. Poplawska MarzannaThis essay discusses the creation ofwayang wahyu—a Catholic form of shadow theatre in central Java—and its relation to Church politics of inculturation. It presents a short history and an analysis of performance practice of this unique Christian Giari MurwandaniAcculturation is an interactive and continuous process that develops within and through the communication of an immigrant having a foreign social and cultural environment. One form of communication in acculturation can be seen through the remains and artefacts in the form of artworks or architecture in a region. Keraton Sumenep, a royal building complex, is one of those historical remains in Madura. Kraton Sumenep was designed by the Chinese architect Lauw Pia Ngo. It was constructed during the Dutch colonial rule. Thus, this object of heritage was influenced by Javanese Hindu, Islam, Chinese and Dutch cultures. The appearance and finishes of the building evidently show the presence of these cultures. The pendopo traditional Javanese over-head construction of Kraton possesses a Javanese style of construction. It has a Limasan Sinom roof and the flipped-shaped roof top that appears like a dragon’s head shows Chinese influence. Meanwhile, the top level form in its interior that is naked and without a covered passageway, shaped like a chimney at its top are evidences of Dutch and Chinese influences. Javanese, Islam and Chinese ornamentation are composed in an interesting way. Thus, the architectural form of Kraton Sumenep shows the that acculturation of Madura, China and Dutch culture had taken place. Abstract in Bahasa Indonesia Proses akulturasi adalah suatu proses interaktif dan berkesinambungan yang berkembang dalam dan melalui komunikasi seorang imigran dengan lingkungan sosio-budaya yang baru. Salah satu bentuk adanya komunikasi dalam sebuah akulturasi budaya dapat dilihat pada hasil peninggalan berupa artefak-¬artefak, baik berupa karya seni rupa maupun arsitektur yang ada di suatu daerah, Keraton Sumenep merupakan salah satu peninggalan bangunan di Madura. Kraton Sumenep dirancang oleh arsitek Lauw Pia Ngo dari Negeri Cina, dibangun pada masa pemerintahan kolonial Belanda, dengan demikian maka warisan budaya itu tidak luput dari pengaruh budaya Jawa Hindu, Islam, Cina dan Belanda. Kesemuanya itu tampak pada penampilan dan penyelesaian bangunan-bangunan tersebut. Pendopo Kraton ternyata memiliki bentuk bangunan Jawa. Pendopo dengan atap Limasan Sinom dan bubungannya dihiasi dengan bentuk mencuat seperti kepala naga, merupakan pengaruh Cina. Sedangkan bangunan dalem terdapat bentuk gunung top level yang telanjang tanpa teritis dan diselesaikan dengan bentuk mirip cerobong asap di puncaknya, merupakan bukti pengaruh Belanda dan Cina. Pada ragam hiasnya juga nampak beberapa pola Jawa, Islam dan Cina yang dipadu cukup menarik. Bentuk arsitektur Kraton Sumenep, menunjukkan wujud adanya akulturasi antara budaya Madura, Cina dan Belanda. Kata kunci interior, Kraton Sumenep, akulturasi, budaya MaduraPratiwimba Adiluhung Sejarah dan Perkembangan WayangS HaryantoHaryanto, S. 1988. Pratiwimba Adiluhung Sejarah dan Perkembangan Wayang. Jakarta for Art dan Art for Mart Orientasi Pelestarian dan Pengembangan Seni Pertunjukan TradisionalKuswaryantoKuswaryanto. "Art for Art dan Art for Mart Orientasi Pelestarian dan Pengembangan Seni Pertunjukan Tradisional", dalam Timbul Haryono. 2009. Seni Dalam Dimensi Bentuk, Ruang, Dan Waktu. Wedatama Widya Sastra, Postmodernisme. Yogyakarta Penerbit KanisiusScott LashLash, Scott. 2008. Sosiologi Postmodernisme. Yogyakarta Penerbit Asal-usul, Filsafat dan Masa DepannyaSri MulyonoMulyono, Sri. 1982. Wayang Asal-usul, Filsafat dan Masa Depannya. Jakarta Gunung Penelitian Kajian Budaya dan Ilmu Sosial Humaniora Pada UmumnyaNyoman RatnaKuthaRatna, Nyoman Kutha. 2010. Metodologi Penelitian Kajian Budaya dan Ilmu Sosial Humaniora Pada Umumnya. Yogyakarta Pustaka Seni Rupa Wayang Kulit Purwa dan PerkembangannyaSigit SukasmanSigit Sukasman. "Segi Seni Rupa Wayang Kulit Purwa dan Perkembangannya", dalam Yudoseputro, Wiyoso. 1993. Rupa Wayang Dalam Seni Rupa Kontemporer Indonesia. Jakarta Pedalangan. Surakarta Institut Seni IndonesiaSoetarnoSoetarno. 2007. Sejarah Pedalangan. Surakarta Institut Seni Indonesia.
wayang merupakan hasil motif hias seni rupa