RAHASIAZIKIR HU ALLAH ILMU MAKRIFAT YANG TERSEMBUNYI MENGAJI ILMU MAKRIFAT ILMU TASAWUFNur Adalah sifat kesempurnaan yang Awal Bernama Ahmad, setelah berjah Jadiilmu yang akan terangkat pertama kali adalah ilmu naafi' (ilmu yang bermanfaat) yaitu ilmu yang menancap dalam batin, bersemayam dalam hati dan ilmu yang memperbaiki hati. Ilmu yang ada nantinya adalah ilmu yang jadi hiasan bibir. Ilmu itu malah nantinya dihinakan. Tak ada lagi yang tahu praktik dari ilmu tersebut. Tidak ada pula ulama yang memikul ilmu itu lagi, tidaklah aku dan tidak pula mereka. Lambat laun ilmu tersebut hilang bersama dengan hilangnya para guru yang mengajarkan ALLAHAZZA WA JALLA MENGETAHUI SEGALANYA Oleh Ustadz Abu Isma'il Muslim al-Atsari Di antara sifat Allâh Azza wa Jalla yang menunjukkan kesempurnaan-Nya adalah sifat ilmu. Dan sifat ilmu bagi Allâh Azza wa Jalla merupakan sifat dzatiyah tsubutiyah, yaitu sifat yang selalu ada pada Allâh Azza wa Jalla , tidak pernah pisah dengan Dzat Allâh. Wahyudalam pengertian ishtilahi adalah: "kalamullah yang diturunkan kepada Nabi-nabi dan Rasul-rasul yang menjadi hudan (petunjuk) bagi umat manusia", baik yang diturunkan langsung, dari belakang tabir (min wara' hijab) maupun yang diturunkan melalui malaikat Jibril, seperti firman Allah swt: "Tidak ada bagi seorang manusia pun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir atau dengan mengutus seseorang (malaikat) lalu diwahyukan Tidakada satu pun yang tersembunyi bagi Allah SWT. Sebutir biji dalam gelap gulita bumi yang berlapis- lapis tetap diketahui oleh Allah SWT. Seperti Firman Allah dalam surat Al- An'aam, ayat 59. Ilmu Allah memang maha luas, tiada terbatas. Dia mengetahui apa yang sudah dan akan terjadi. 10 pertanyaan dan jawaban tentang berbakti kepada orang tua. Pengertian Ilmun Pengertian IlmunIlmu ﻋﻠﻢ Maha Mengetahui. Ilmu Allah Tidak iniPosting terkait Ilmun Sifat wajib Allah ke-9 yakni, Ilmun artinya mengetahui atas segala sesuatu baik yang tampak maupun tidak tampak oleh umat manusia. Allah SWT berfirman وَمَا تَكُوْنُ فِيْ شَأْنٍ وَّمَا تَتْلُوْا مِنْهُ مِنْ قُرْاٰنٍ وَّلَا تَعْمَلُوْنَ مِنْ عَمَلٍ اِلَّا كُنَّا عَلَيْكُمْ شُهُوْدًا اِذْ تُفِيْضُوْنَ فِيْهِۗ وَمَا يَعْزُبُ عَنْ رَّبِّكَ مِنْ مِّثْقَالِ ذَرَّةٍ فِى الْاَرْضِ وَلَا فِى السَّمَاۤءِ وَلَآ اَصْغَرَ مِنْ ذٰلِكَ وَلَآ اَكْبَرَ اِلَّا فِيْ كِتٰبٍ مُّبِيْنٍ Artinya Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari al-Quran dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. Tidak luput dari pengetahuan Rabbmu biarpun sebesar zarrah atom di bumi ataupun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak pula yang lebih”. QS. Yunus 61 Baca Juga Iradat Artinya Ilmu ﻋﻠﻢ Maha Mengetahui. Artinya, Allah itu Dzat yang Mengetahui. Allah mengetahui segala hal dan peristiwa, dengan tidak didahului oleh keraguan atau kesamaran. Allah Maha Mengetahui karena Dialah yang menciptakan segala sesuatu. Sedangkan manusia tahu bukan karena menciptakan, tapi sekedar melihat, mendengar, dan mengamati. Itu pun terbatas pengetahuannya sehingga manusia tetap saja tidak mampu menciptakan meski hanya seekor lalat. Firman Allah “ Dan Allah memiliki kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya, dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu basah atau kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata Lauh Mahfudz” Al- An’aam 59 Diantara sifat yang wajib bagi Dzat Yang Wajib Ada, adalah sifat “Ilmu”Maha Mengetahui. Yang dimaksud, ialah terbukanya tabir sesuatu bagi Dzat yang telah tetap sifat itu bagi- Nya, yakni yang menjadi sumber, pokok pangkal dari terbukanya tabir sesuatu sifat ilmu, termasuk sifat- sifat wujudiah yang menjadi sifat bagi Yang Wajib Ada. Baca Juga Qudrat Artinya Segala sifat yang dipandang menjadi kesempurnaan bagi wujud, wajiblah ada pada dirinya. Maka karena itu teranglah, bahwa Dzat yang wajib Ada itu berilmu Alim, Maha Mengetahui. Kenyataan menunjukan, bahwa ilmu menjadi kesempurnaan bagi segala sesuatu yang mungkin wujud ada. Dan diantara yang termasuk mungkin wujid itu ialah Dzat yang Memiliki Ilmu Alim. Maka sekiranya Yang Wajib Ada itu tidak Alim tidak berilmu, tentu akan terdapat dalam sesuatu yang mungkin ada itu, Dzat substansi yang lebih sempurna keadaannya dari pada Dzat Yang Wajib Ada. Sedang itu mustahil, sebagaimana yang telah kami terangkan. Kemudian Dzat Yang Wajib Ada itulah yang menjadi pemberi ilmu dalam alam yang mungkin ini. Tenti tidak masuk akal sama sekali, bahwa Yang menjadi Sumber Ilmu tidak mempunyai Allah “ Katakanlah Sekiranya lautan jadi tinta untuk menulis kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis ditulis kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu.” Al- Kahfi 109 Allah ber- Ilmu dengan arti mengetahui segalanya. Tidak ada satu kejadian atau masalah yang bagaimana kecil atau besarnya yang tidak diketahui oleh Allah. Allah tidak boleh dikatakan tidak tahu, bodoh dan lain- lain sebagainya. Baca Juga Wahdaniyah Artinya Mari kita sama menengok sejurus ke alam semesta. Demikian hebat dan kokohnya, demikian cantik dan teraturnya ala mini dibikin oleh Allah. Berlangit dan bermatahari, berbumi dan berbintang, masing- masing berjalan beredar dengan teratur, tidak pernah bearntuk dan bertabrakan satu dengan yang lainnya. Sungguh menunjukan hebatnay Ilmu Allah yang mengadakan dan mengatur itu semua. Dengan ilmu yang setinggi dan sesempurna itulah Allah menciptakan segala benda dan alam ini seluruhnya. Dan dengan ilmu yang sempurna dan setinggi itu pula lah Allah mengadakan peraturan bagi setiap alam yang diciptakan Allah itu. Dengan pengetahuan dan ilmu yang begitu tinggi dan sempurna, begitu pula lah Allah membuat aturan yang berupa perintah dan larangan bagi manusia. Aturan atau perintah dan larangan Allah itu ialah agama, yang diturunkan Allah dengan perantara Nabi dan para Rasul- Nya, yang dari dulu sampai sekarang bernama Agama Islam. Sadarlah kita hendaknya sesadar- sadarnya bahwa segala perintah dan larangan Allah yang tercantum dalam kitab- kitab Suci- Nya itu pasti baik untuk dipatuhi dan dijalankan oleh manusia. Firman Allah “Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” An- Nisaa’ 176 Berilmunya Allah itu adalah termasuk diantara hal- hal yang lazim bagi wujud- Nya, sebagaimana telah diketahui. Ilmu- Nya mengatasi segala macam ilmu, karena tinggi martabat wujud- Nya diatas segala yang maujud ada. Maka teranglah pula, bahwa Ilmu- Nya itu meliputi segala sesuatu yang dapat dicapai oleh ilmu pengetahuan. Baca Juga Qiyamuhu Binafsihi Artinya Berilmunya Allah adalah satu dari suatu kelaziman bagi wujud- Nya. Maka dari itu Ia tidak berkehendak kepada sesuatu selain kepada Dzat- Nya sendiri. Ia adalah“azali”. Dzat yang wujudnya tidak berawal dan tidak juga berakhir abadi, bebas tidak bisa dicapai dengan alat- alat media- media dan oleh ketajaman- ketajaman pikiran dan kegiatan- kegiatan otak. Jadi Ia berlainan dengan segala yang berilmu dari sesuatu alam yang mungkin. Diantara dalil- dalil yang membuktikan tentang tetap adanya Ilmu Allah, ialah apa yang kita saksikan sendiri pada struktur susunan alam yang mungkin ini, berupa hokum- hokum dan kerapiannya, terletak segala sesuatu pada tempat yang semestinya, tetapnya masing- masing pada bidang yang diperlukan dalam wujud dan kekalnya. Ini nyata jelas bagi mata orang yang suka memperhatikan apa yang ditunjukan oleh benda- benda alam, baik besar makro, maupun yang kecil mikro, tinggi maupun yang rendah. Ilmu Allah Tidak Terbatas. Allah SWT mempunyai ilmu yang tidak terbatas. Dia mengetahuai apa saja yang ada di langit dan di bumi, baik yang gaib maupun yang nyata. Firman Allah “ Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi..” Al- Hajj 70 “Dialah Allah, Yang tiada Tuhan selain Dia. Yang mengetahui yang gaib dan yang nyata. Dialah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” Al- Hasyr 22 Baca Juga mukhalafatu lil hawaditsi artinya Tidak ada satu pun yang tersembunyi bagi Allah SWT. Sebutir biji dalam gelap gulita bumi yang berlapis- lapis tetap diketahui oleh Allah SWT. Seperti Firman Allah dalam surat Al- An’aam, ayat 59. Ilmu Allah memang maha luas, tiada terbatas. Dia mengetahui apa yang sudah dan akan terjadi. Manusia, malaikat dan makhluk mana pun tidak akan bias menyelami lautan ilmu Allah SWT. Bahkan untuk mengetahui ciptaan Allah saja manusia tidak akan mampu. Seperti yang digambarkan dalam Firman Allah dalam surat Al- Kahfi ayat 109 Baca Juga Al Muhshii Artinya NASIHAT DAN WASIAT UNTUK PARA PENUNTUT ILMUOleh Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir JawasNasihat Ketiga TIDAK BOLEH MENYEMBUNYIKAN ILMU Menyembunyikan ilmu adalah satu sifat tercela yang disandang oleh Ahlul Kitab Yahudi dan Nasrani, yaitu mereka menyembunyikan kebenaran risalah Nabi Muhammad shallallaahu alaihi wa sallam di dalam Kitab suci keduanya Taurat dan seseorang mengetahui suatu ilmu, kemudian ada orang lain yang bertanya tentang ilmu ter-sebut maka ia harus menyampaikan ilmu tersebut kepadanya. Sebab apabila tidak dilakukan dan ia menyembunyikan ilmunya itu, ia terkena ancaman Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam dalam sabdanya,مَنْ سُئِلَ عَنْ عِلْمٍ فَكَتَمَهُ أُلْـجِمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِلِجَامٍ مِنْ نَارٍ.“Barangsiapa yang ditanya tentang suatu ilmu lalu ia menyembunyikannya, maka ia akan di-belenggu pada hari Kiamat dengan tali kekang dari Neraka.”[1]Allah Ta’ala berfirmanإِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنْزَلْنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَىٰ مِنْ بَعْدِ مَا بَيَّنَّاهُ لِلنَّاسِ فِي الْكِتَابِ ۙ أُولَٰئِكَ يَلْعَنُهُمُ اللَّهُ وَيَلْعَنُهُمُ اللَّاعِنُونَ“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan yang jelas dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al-Kitab, mereka itu dilaknat Allah dan dilaknat pula oleh semua makhluk yang dapat melaknat.” [Al-Baqarah/2 159]Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullaah mengatakan, “Seorang penuntut ilmu hendaklah memberikan ilmunya kepada penuntut ilmu selainnya dan tidak menyembunyikan suatu ilmu pun karena ada larangan keras dari Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam terhadap perbuatan tersebut.”[2]Selain itu Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam memberikan perumpamaan bagi orang yang menyem-bunyikan ilmu dalam sabda beliau,مَثَلُ الَّذِيْ يَتَعَلَّمُ الْعِلْمَ ثُمَّ لاَ يُـحَدِّثُ بِهِ كَمَثَلِ الَّذِيْ يَكْنِزُ الْكَنْزَ فَلاَ يُنْفِقُ مِنْهُ.“Perumpamaan orang yang mempelajari ilmu kemudian tidak menceritakannya tidak mendakwahkannya, seperti orang yang menyimpan perbendaharaan lalu tidak menginfakkannya.”[3]Ilmu yang dimaksud adalah ilmu yang berkaitan tentang apa yang wajib diketahui oleh setiap Muslim dari urusan itu, menyampaikan ilmu hanyalah kepada orang yang layak menerimanya. Adapun orang yang tidak layak menerima ilmu itu, maka boleh menyembunyikan ilmu darinya. Syaikh Ahmad bin Muhammad bin Syakir rahimahullaah mengatakan, “Menyampaikan ilmu hukumnya wajib dan tidak boleh menyembunyikannya, namun mereka para ulama mengkhususkan hal itu bagi orang yang berkopetensi layak menyembunyikan ilmu kepada orang yang belum siap menerimanya, demikian juga kepada orang yang terus-menerus melakukan kesalahan setelah diberikan cara yang benar.”[4]Nasihat Keempat PENUNTUT ILMU HARUS TUNDUK PADA KEBENARAN Mu’adz bin Jabal radhiyallaahu anhu pernah berkata, “Allah Ta’ala adalah Hakim Yang Mahaadil dalam memberikan hukuman. Dia-lah Dzat yang Nama-Nya Mahatinggi. Dan orang-orang yang meragukan hal itu akan binasa.”[5]Abdurrahman bin Abdillah bin Mas’ud rahimahullaah berkata, “Ada seseorang yang datang kepada Abdullah bin Mas’ud seraya berkata, Wahai Abu Abdirrahman, beritahukan kepadaku kalimat yang simpel namun banyak mengandung manfaat!’ Abdullah menjawab, Jangan sekali-kali engkau menyekutukan Allah. Berjalanlah bersama Al-Qur-an kemana saja engkau pergi. Jika ada kebenaran yang datang kepadamu, janganlah segan-segan untuk menerimanya sekalipun kebenaran itu jauh letaknya dan tidak menyenangkan. Dan jika ada kebathilan yang datang kepadamu, tolaklah ia jauh-jauh sekalipun kebathilan itu sangat dekat letaknya dan sangat kausukai.’”[6]Imam asy-Syafi’i rahimahullaah mengatakan, “Ketika aku meriwayatkan hadits shahih dari Rasulullah dan aku tidak menggunakannya, maka aku bersaksi pada kalian semua bahwa sejak itulah kewarasan akalku telah hilang.”[7]Beliau juga berkata, “Apabila ada seseorang yang mengingkari dan menolak kebenaran berada di hadapanku, maka aku tidak akan menaruh hormat lagi kepadanya. Dan barangsiapa yang menerima kebenaran, maka aku pun akan menghormati dan tanpa ragu akan mencintainya.”[8]Orang yang sombong adalah orang yang menolak kebenaran, sebagaimana sabda Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam…اَلْكِبْرُ بَطَرُ الْـحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ.“…Yang dikatakan sombong adalah menolak kebenaran dan melecehkan manusia.”[9][Disalin dari buku Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga “Panduan Menuntut Ilmu”, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, PO BOX 264 – Bogor 16001 Jawa Barat – Indonesia, Cetakan Pertama Rabi’uts Tsani 1428H/April 2007M] _______ Footnote [1] Hadits shahih Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 3658, at-Tirmidzi no. 2649, dan Ibnu Majah no. 266, ini lafazh Ibnu Majah, dari Shahabat Abu Hurairah. Lihat Shahih Sunan Abi Dawud II/441, Shahih Sunan at-Tirmidzi II/336, no. 2135, dan Shahih Sunan Ibni Majah I/49, no. 213. [2] Lihat al-Baa’itsul Hatsiits II/440. [3] Hadits hasan Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Ausath no. 693, dari Shahabt Abu Hurairah radhiyallaahu anhu. Lihat Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah no. 3479. [4] Lihat al-Baa’itsul Hatsiits II/440. [5] Siyar A’laamin Nubalaa’ I/357. [6] Shifatush Shafwah I/183, cet. II, Maktabah Nazar Musthafa al-Baaz, th. 1418 H. [7] Siyar A’laamin Nubalaa’ X/34. [8] Ibid X/33. [9] Shahih Diriwayatkan oleh Muslim no. 91 147 dan at-Tirmidzi no. 1999. Home /A9. Fiqih Dakwah Nasehat/Penuntut Ilmu Tidak Boleh... Bila seorang Muslim telah memperoleh atau mengetahui suatu ilmu maka harus diamalkan dan disebarkan atau diajarkan kepada Muslim lainnya. Terlebih bila ada saudara sesama Muslim bertanya tentang ilmu yang dikuasainya, maka haram bagi orang yang mengetahui ilmu tersebut menyembunyikannya atau tidak mau dalam kitab at Targib wat Tarhib menuliskan sebuah hadits Nabi Muhammad Saw yang diriwayatkan Abu Dawud dan صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ سُئِلَ عَنْ عِلْمً فَكَتَمَهُ أُلْجِمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِلِجَامٍ مِنْ Muhammad bersabda Barangsiapa ditanya tentang sesuatu ilmu lalu ia menyembunyikannya maka ia akan diberi kekang pada hari kiamat dengan tali kekang dari neraka. Hadits ini mengingatkan kepada setiap Muslim agar jangan pelit terhadap ilmu. Sekitarnya ia mengetahui dan memang ilmu tersebut dibutuhkan oleh orang lain maka ia harus menyampaikannya. Akan tetapi di dalam memberika ilmu pun harus penuh pertimbangan atau menyesuaikan dengan orang yang akan menerimanya. Agar dapat mudah dipahami dan diamalkan oleh orang yang menerimanya. BACA JUGA Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Klik di Sini Il s'agit du plus grave des interdits et du plus grand des péchés. C'est pourquoi il vient en quatrième position dans les interdits sur lesquels toutes les lois et les religions s'accordent car il s'agit d'interdits qui ne deviennent jamais permis, contrairement par exemple à la viande de la bête morte de mort naturelle ou de celle du porc ou du sang qui peuvent être rendus licites dans certains cas. C'est que les interdits sont de deux sortes - un interdit en soi qui n'est jamais rendu licite -un interdit qui peut devenir licite dans certains cas particuliers Allah dit sur l'interdit en soi "Mon Seigneur a interdit seulement les turpitudes apparentes ou cachées" / Puis Il passe à ce qui est plus grave "Le péché et la violence injuste". Puis Il passe à ce qui est encore plus grave "Il a interdit d'associer à Allah ce qui n'a reçu de Lui aucun pouvoir". Puis Il passe à ce qui est encore plus grave "et de dire contre Allah ce que vous ne savez pas". Cette dernière attitude constitue le plus grave des interdits auprès d'Allah car elle renferme du mensonge contre Allah et elle tend à Lui attribuer ce qui est indigne de Lui, à modifier Sa religion, à nier ce qu'Il a confirmé et à confirmer, ce qu'Il a infirmé, à réaliser ce qu'Il a annulé et vice-versa, à prendre pour ennemis ceux qui sont Ses amis et vice-versa, à aimer ce qui Lui répugne et vice-versa, et à lui attribuer des qualités qui ne conviennent pas à Son Essence, à Ses attributs, à Sa parole et à Ses actes. C'est donc auprès d'Allah le pire des espèces d'interdits qui est à l'origine du polythéisme et de l'impiété et qui est le fondement des hérésies et des égarements. En somme toute hérésie trompeuse dans la religion a pour origine le fait de parler d'Allah sans science. Voilà pourquoi les anciens pieux et leurs imams ont fustigé cette attitude avec la dernière énergie et dénoncé ses adeptes partout où ils se trouvaient sur la terre, mettant sévèrement en garde contre eux et insistant dans leur désapprobation de cette attitude plus qu'ils ne le faisaient en fustigeant les turpitudes, les injustices et les transgressions parce que la menace que les hérésies représentent pour la foi est de loin la plus grave. Du reste Allah fustige celui qui attribue dans Sa religion le caractère licite ou illicite à une chose, de son propre fait et sans la moindre preuve divine qui l'atteste. En effet Allah dit "Et ne dites pas, conformément aux mensonges proférés par vos langues "Ceci est licite, et cela est illicite", pour forger le mensonge contre Allah. Certes, ceux qui forgent le mensonge contre Allah ne réussiront pas. " / Qu'en serait-il de celui qui attribue à Allah des qualités dont Il ne s'est pas qualifié Lui-même ou qui Lui nie une qualité dont Il s'est qualifié Lui-même ? Quelqu'un parmi les anciens pieux disait Que l'un de vous prenne garde à dire "Allah a rendu ceci licite et a rendu ceci illicite", de peur qu'Allah ne lui dise " Tu as menti. Je n'ai pas rendu ceci licite et Je n'ai pas rendu cela illicite !" » Il faut dire que l'origine du polythéisme et de l'impiété c'est le fait de parler d'Allah sans science et connaissance. En effet le polythéiste prétend que ce qu'il adore en dehors d'Allah le rapproche d'Allah, intercède en sa faveur auprès de Lui et satisfait son besoin comme le font les médiateurs auprès des rois. Voilà pourquoi mentir sur l'Envoyé d'Allah , implique l'entrée en Enfer parce que ce genre de mensonge relève de ce qu'on dit nécessairement attribué à Celui qui l'a envoyé. Donc les péchés de tous les hérétiques relèvent de cette espèce et on ne peut s'en repentir qu'en désavouant les hérésies. Mais comment s'en repentir pour celui qui ne sait même pas que c'est une hérésie puisqu'il croit que ce qu'il fait c'est une sunna à laquelle il appelle ? Un tel homme ne peut vraiment reconnaître ses péchés qui impliquent qu'il ne s'en repente que s'il connaît la véritable Sunna et se met à l'étudier et à approfondir ses connaissances à ce sujet. Ce que les hérétiques ne font jamais. Pourtant c'est la Sunna qui anéantit l'hérésie. Lorsque son soleil se lève sur le cœur du serviteur elle dissipe de son cœur les brumes de toute hérésie et élimine les ténèbres de tout égarement car les ténèbres ne peuvent tenir tête au pouvoir du soleil. Mais le serviteur ne peut distinguer la Sunna de l'hérésie qu'en suivant la vraie Sunna et qu'en émigrant à chaque instant avec son cœur vers Allah dans la sincérité et qu'en émigrant vers Son Messager à travers l'attachement à puiser dans ses paroles, ses actes et sa conduite exemplaire, car comme l'indique le hadîth authentique "Celui qui émigre vers Allah et Son Messager, son émigration sera effective vers Allah et Son Messager" Quant à celui qui émigré vers autre chose, se sera sa part dans le bas-monde, et dans la vie future. Sources Par Ibn Qayyim El-Djawziyya Les sentiers des itinérants Pour être informé des derniers articles, inscrivez vous

ilmu allah yang tersembunyi